Versi pendek di KORAN TEMPO Sabtu 26 April 2014
http://www.tempo.co/read/kolom/2014/04/26/1302/Aceh-Didikte-Aceh-Bangkit
http://www.tempo.co/read/kolom/2014/04/26/1302/Aceh-Didikte-Aceh-Bangkit
Berikut versi lengkap:
Agustus 2008. Di kampungnya, Gampong Lampoh Awe, Pidie, tokoh itu berdiri memandang ke arah Selat Malakka. Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe (alm), orang kepercayaan Hasan di Tiro itu, menggambarkan Gerakan Aceh Merdeka GAM setelah Perdamaian Helsinki (2005) bagai “kapal oleng”. Saya ingat betul kata-katanya: “Ada ombak dari depan, ada angin dari samping, ada ribut di belakang. Kapten yang benar nggak perlu tahu itu omongan protes dan sebagainya. Nggak ada demokrasi di laut. Kapten punya hak, dua kali lagi ribut, tolak dia ke laut. Itu hukum dari Nabi Nuh. Kita jalan terus, lemparkan pelampung kalau dia masih selamat kita ambil. Kapal jalan terus. GAM seperti kapal yang harus tetap menuju tujuan ...”
Di hari-hari pasca pemilu 2014 ini, metafora Tgk Muhammad itu nyaring bagai dejavu. Aceh tengah galau. Soalnya bukanlah hasil pemilihan umum yang pada garis besarnya telah diperkirakan. Partai Aceh (PA), partai mantan petinggi GAM, merosot sedikit, tapi porsinya masih dominan. Tiga atau empat parnas (parpol nasional), Golkar, Demokrat dan Nasdem menyusul, sementara parlok (parpol lokal) eks GAM yang bersitegang dengan PA, PNA (Partai Nasional Aceh), di peringkat rendah. Di kawasan-kawasan basisnya, Pidie, Aceh Besar dan Aceh Timur, PA tetap kokoh, namun tidak demikian dengan PNA di basisnya di Bireuen.
Hampir sedasawarsa setelah perdamaian, kedua kubu mantan GAM kini bergulat membangun Aceh, namun mereka juga beradu klaim, visi dan sumberdaya untuk membangkitkan Aceh demi menyejahterakan Aceh. Sebuah kemelut panas-dingin yang ramai dengan peran dan permainan beberapa pihak lain dan luar. Gubernur Tgk Zaini Abdullah, seperti pun Ketua DPRA, Tgk Hasbi Abdullah, dan kalangan PA, menunjuk, tak kurang sembilan pasal UUPA (Undang Undang Pemerintah Aceh) untuk menjabarkan pelaksanaan MoU Helsinki telah lama dinanti, tetapi tak pernah dituntaskan oleh pusat. Padahal ini menyangkut ihwal-ihwal yang vital seputar kewenangan dan sumberdaya migas bagi negeri ini. Salah satunya: perlunya mengesahkan batas 200 mil perairan laut untuk memastikan eksplorasi minyak lepas pantai sekitar Simeuleu.
Ada pula yang simbolis namun berbulan-bulan tetap alot. “Inilah Aceh, Bung,” kata orang. Mereka berkeras menjaga simbol-simbol yang telah disahkan secara aklamasi oleh seluruh parnas dan parlok di DPRA tersebut. Walhasil, meski belum disepakati Jakarta, bendera berlambang GAM telah menjadi kenyataan keseharian di penjuru jalan, juga pasca kampanye. Dengan kata lain, Jakarta dihadapkan pada fait accompli kenyataan keras perkara lambang di ranah publik di Aceh, sementara Pemerintah Aceh menanti penuntasan legal yang tak kunjung datang. “Bukankah hak Aceh atas simbol negeri itu telah ditegaskan dalam MoU Helsinki,” tukas Zaini ‘Doto’ Abdullah. Doto Zaini boleh benar, namun ‘Helsinki’, bagi elit eks-GAM di PA ini, telah menjadi deus ex machina - wasiat ampuh yang seharusnya telah dapat menyelesaikan segalanya. Sehingga, bagi Aceh, masalahnya beralih ke: Ada apa di balik kealotan Jakarta?
Soal pembagian wewenang dan lambang tersebut pada substansinya tak terkait pada stabilitas politik, namun dia menjadi bagian dari panorama ketegangan Aceh ketika apa yang dirujuk sebagai ‘kealotan’ dan ‘kecurigaan’ tersebut kentara pula dalam keamanan seputar Pileg. Setiap kali terjadi letupan kekerasan sejak 2009, terutama di daerah-daerah tertentu, para tersangkanya boleh jadi pihak-pihak lokal, namun banyak orang - pejabat, parpol, juga khalayak umum merasa telah 'mahfum': ada pihak-pihak aparat 'bermain'. Dengan begitu jelas mengapa anggaran dan jumlah tentara dan polisi bertambah. Aceh menjadi 'Serambi Kekerasan' yang tak pernah absen dari daftar propinsi yang mendapat perhatian khusus. Tahun 2009 hingga menjelang Pilkada 2012, bahkan hingga kini, aksi-aksi kekerasan - penembakan, pembunuhan, serangan - oleh organisasi tanpa bentuk (OTB), meningkat.
‘Operasi Soenarko' itu, sebutlah begitu, membuka masa tegang bersamaan dengan menajamnya perpecahan mantan GAM menjadi dua kubu. Pangdam asal Kopassus itu, menjelang Pilkada 2012, membidani tampilnya Partai Gerindra di panggung Aceh dan berhasil menggalang suara tambun bagi PA dari Gayo, Aceh Tengah, yang sarat mantan milisi anti GAM. Di satu pihak, ini menjamin kemenangan besar kelompok PA untuk menggusur Irwandi Yusuf dari kursi Gubernur. Di lain pihak, bagi Aceh, perkongsian Gerindra-PA sejak Pilkada 2012 dinilai perlu karena diharapkan dapat melindungi PA dari kecurigan terus menerus dari kalangan di Jakarta tentang "agenda kemerdekaan" PA. Gerindra juga memasok dana milyaran. Pada gilirannya perkongsian strategis itu tentu saja dimaksud untuk menjamin suara Aceh bagi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 Juli yad. Strange bedfellows, memang, mengingat cacat HAM di masa DOM (periode Daerah Operasi Militer) yang melatari Prabowo pada 1980an. Namun, bagi Aceh, perkongsian ini sama pentingnya dengan perkongsian PA dengan Partai Demokrat lima tahun sebelumnya yang menyumbang bagi kemenangan besar Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009. Pola aliansi ini bagi PA perlu utk menjamin stabilitas hubungan pusat dan Aceh.
“Ombak dari depan, angin dari samping, ribut di belakang” - meminjam kata kata Tgku. Muhammad - terus mengguncang Aceh. 'Ombak’ bisa datang dari Jakarta, ‘angin’ dari persaingan lokal, namun ‘ribut di belakang’ pasca-Helsinki itu berkisar seputar para mantan kombatan selepas perang. “Janganlah Bapak melepas harimau liar,” seorang aktivis Aceh pernah menghardik Wiranto ketika jenderal ini mencabut DOM. Usai perang petani harus kembali bersawah dan gerilyawan jadi warga sipil, tetapi semua itu memerlukan infrastruktur penghidupan. MoU Helsinki hanya menyepakati - dan BRA (Badan Reintegrasi Aceh) hanya menyediakan - perlengkapan hidup bagi tiga ribu mantan kombatan, padahal jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan yang disediakan jauh dari memadai. Para peneliti yang kemudian menilai Aceh bertransisi dari kombatan menjadi kontraktor, hanya menangkap separo dari kenyataan di lapangan. Sejumlah kecil eks-kombatan di masa Gubernur Irwandi, ketika BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) masih menopang Aceh dengan berbagai proyek, berubah jadi kontraktor, sebagian lagi hidup dari fee selaku perantara, namun ini tak menjangkau ribuan mantan anakbuah para panglima. Bahkan sejumlah panglima pun selepas BRR harus mencari jalan sendiri. Ada yang mampu berdikari dan berbisnis, namun bagaimana dengan sebagian besar dari ribuan mantan pasukannya? Mereka menjadi reservoir bagi penguasa, yang dalam masyarakat pasca-konflik cenderung memupuk kuasa dengan menguasai sumberdaya dan akses-aksesnya.
Walhasil, bila di masa Gubernur Irwandi kontraktor menjamur, kini di masa Gubernur Zaini, sejak para panglima wilayah GAM tersebut secara massal ‘dipecat’ dan ribuan anakbuahnya ‘lepas’ dari struktur, mereka berpotensi menjadi ladang sumberdaya ekonomi-politik yang potensial dinamis dan rawan.
Dan Aceh tak melenggang sendiri. Bila ‘Ombak’ Jakarta dan Kongsi Gerindra-PA memungkinkan kemenangan kubu PA pada Pilkada 2012, maka pembubaran para mantan kombatan itu tidak hanya mengguncang ikatan loyalitas, tapi cenderung mengalihkan hubungan klientelisme dan patronase ke penguasa baru, PA. Maka PA pun dominan. Dibawah PA, tulis seorang peneliti asing, Aceh nyaris menjadi “one party-state”. Seorang petinggi partai tersebut – mirip ramalan Tgk Muhammad diatas - menuai onar ketika mengancam warga agar “keluar saja dari Aceh bila tak suka PA”. Maka Pileg 2014 menjadi menarik untuk mengukur seberapa jauh suara elektorat menjadi pembelajaran ataukah hukuman atas tendensi otokratik. Laiknya demokrasi yang sehat, Aceh memerlukan oposisi yang mampu mengimbangi penguasa. Selama sejumlah parpol, khususnya dua parlok eks GAM, dalam perbandingan kekuatan yang timpang, selama itu ruang tetap terpelihara bagi pihak ketiga untuk mendikte, atau berkongsi.
Di sisi lain Aceh juga sebuah kisah kebangkitan dari perang dan bencana. Di daerah dengan UMP tertinggi ini, benih benih lapisan menengah bertumbuh-kembang. Ada mantan kombatan yang mencapai sukses dan kreatif meniti bisnis – macam Tgku Jamaica dan Tgku Batee yang tak memilih kubu – yang pun bakal siap menjadi politisi, sementara unsur-unsur civil society dari masa konflik mengisi kader parpol, baik parnas mau pun ketiga parlok. “Perlu, dan telah dimulai, membangun partai sosdem moderen dengan menanam disiplin,” ujar penasehat PNA Nur Djuli.
Walhasil, Aceh juga bukan cerita kegagalan. Krisis masyarakat pasca-konflik - tepatnya, kondisi pasca-perjuangan - yang melanda mantan kombatan di Aceh, terjadi di Indonesia dan Timor Leste dengan dampak lebih buruk. Di Indonesia pasca-proklamasi, upaya Mohammad Hatta untuk menata lasykar-lasykar pejuang revolusi kemerdekaan, Rera, terjebak komplikasi pasca-Renville dan jatuhnya PM Amir Sjarifuddin hingga bermuara di Peristiwa Madiun (1948) yang berdarah. Di Timor Leste, di tengah krisis pengangguran pemuda, upaya menata polisi, tentara dan mantan gerilyawan sempat mengguncang negara dari satu pembangkangan berdarah ke pembangkangan yang lain (2006, 2008) oleh mantan clandinista yang kini berstatus veteranus.
Momok Leviathan telah silih berganti sosok di Aceh - dari Hindia Belanda yang memerangi Aceh, Sukarno dengan "tipu"nya memasukkan Aceh dalam propinsi Sumatra Utara hingga Orde Baru yang beringas. Perdamaian dari Helsinki telah menjadi berkah yang dimiliki rakyat Aceh. Mencurigai Aceh sama dengan memusuhi berkah tersebut. Tak perlu lagi mendikte atau pun mencurigai "agenda tersembunyi" kemerdekaan. Yang perlu, saran budayawan Aceh Tgk Rafli, "mewakafkan keikhlasan" agar "Aceh dapat tampil dinamis dengan ruh keAcehan dan ruh peradaban".
Penulis adalah wartawan.